MASYARAKAT
Pasemah? Barangkali tidak semua orang mengenalnya. Secara historis,
suku Pasemah dulunya hanya merupakan suatu kelompok masyarakat yang
bermukim di wilayah pedalaman di Sumatera Selatan (Sumsel). Suku Pasemah
ini diidentikkan dengan masyarakat yang bermukim di daerah perbatasan
Provinsi Sumsel saat ini dengan Provinsi Bengkulu.Secara administratif
pemerintahan saat ini, wilayah Pasemah diakui meliputi daerah sekitar
Kota Pagar Alam, wilayah Kecamatan Jarai, Kecamatan Tanjung Sakti, yang
berbatasan dengan wilayah Bengkulu, dan daerah sekitar Kota Agung,
Kabupaten Lahat (Sumsel). Menurut berbagai literatur, semua wilayah itu
pada masa kolonial Belanda memang termasuk bagian dari Kewedanaan
Pasemah. Sedangkan secara geografis, bisa disebut adalah mereka yang
bermukim di sekitar kaki dan lembah Gunung Dempo sekarang.
Penyebutan
Pasemah itu sendiri, seperti diakui Mohammad Saman (70), budayawan dan
salah seorang sesepuh di sana, berawal dari kesalahan pengucapan (lidah)
orang Belanda. Padahal, pengucapan yang tepat untuk menyebut kelompok
masyarakat ini sebetulnya adalah Besemah. Hanya saja, karena lidah
Belanda tidak bisa mengucap awalan "Be" dari Besemah dan yang terucap
hanya "Pa", maka mereka akhirnya menyebut dengan Pasemah.
Belakangan
bahkan hingga 57 tahun Indonesia merdeka, yang paling populer di tengah
masyarakat justru sebutan: Pasemah. "Keseleo lidah (pengucapan) orang
Belanda yang menyebut Pasemah itu, ternyata yang paling populer di luar.
Padahal, bagi kami orang-orang yang masih bertahan di sini, dari dulu
tetap menyebut Besemah," ungkap Saman, yang mengaku secara otodidak
menguasai dan mengikuti perjalanan panjang sejarah Pasemah.
Kata Besemah itu sendiri, konon berawal dari "kekagetan" Atong Bungsu, puyang (nenek
moyang) mereka ketika melihat banyaknya ikan "Semah" di sebuah sungai
yang mengalir di lembah Dempo. Menyaksikan ikan itu, tiba-tiba terucap
dari mulut Atong Bungsu kalimat; Besemah..., Besemah...! yang artinya di
sungai itu ada (banyak) ikan semahnya.
PASEMAH
adalah salah satu kelompok masyarakat tradisional yang kaya dengan
nilai-nilai adat, tradisi, dan budaya yang sangat khas. Seperti yang
dijelaskan Mohammad Saman, masyarakat di tanah Pasemah sedari dulu sudah
mempunyai tatanan dan aturan-aturan masyarakat yang bernama "Lampik
Empat, Merdike Due" yakni, perwujudan demokrasi murni yang muncul,
berkembang, dan diterapkan sepenuhnya, oleh semua komponen masyarakat
setempat.
Menurut Kamil Mahruf, Nanang Soetadji, dan Djohan Hanafiah dalam bukunya Pasemah Sindang Merdika,
asal usul orang Pasemah dimulai dengan kedatangan Atong Bungsu, yaitu
nenek moyang orang Pasemah Lampik Empat dari Hindia Muka untuk menetap
di daerah ini. Saat kedatangan Atong Bungsu tersebut, ternyata sudah ada
berdiam dua suku yang menempati daerah itu. Yakni, suku Penjalang dan
suku Semidang. Untuk menjaga ketenteraman dan melindungi kepentingan
mereka, pendatang dan kedua suku itu menyepakati perjanjian bersama.
Intinya, di antara mereka sampai anak keturunannya, tidak akan
mengganggu dalam segala hal.
Sejauh
ini memang tidak diketahui sejak kapan keberadaan suku-suku Lampik
Empat di tanah Pasemah. Namun, seperti dijelaskan Kamil Mahruf, jika
perkataan Pasemah yang terdapat dalam prasasti yang dibuat oleh
balatentara raja Yayanasa dari Kedatuan Sriwijaya setelah penaklukan
Lampung tahun 680 Masehi yaitu "Prasasti Palas Pasemah" ada hubungannya
dengan tanah Pasemah, maka berarti suku-suku ini telah ada pada awal
abad ke-7 M.
Keberadaan
suku Pasemah itu sendiri tampaknya memang tidak bisa lepas dari
perjalanan panjang sejarah Kesultanan Palembang. Dari berbagai referensi
yang dimiliki, menurut Kamil Mahruf, keterkaitan antara tanah Pasemah
dan Sultan Palembang dilatarbelakangi oleh hubungan historis dan moral
menyangkut ketidakmampuan untuk mengatur diri sendiri.
Disebutkan,
setelah puyang Pasemah yakni Atong Bungsu berkembang biak, keturunannya
menyebar dan terbagi ke dalam empat suku. Yaitu, Sumbai Besar, Sumbai
Pangkal Lurah, Sumbai Ulu Lurah, dan Sumbai Mangku Anom. Karena keempat
suku itu tidak mampu mengatur kerukunan di antara mereka, maka
dikirimlah utusan masing-masing suku menemui Raja Palembang untuk
meminta petunjuk. Khusus dua suku sebelumnya, suku Penjalang dan
Semidang tidak turut serta sesuai perjanjian terdahulu.
Lantas,
Raja Palembang memberi hadiah kepada keempat ketua suku, berupa satu
lampik atau tikar untuk tempat duduk bersama. Arti pemberian itu sangat
dalam, yaitu arahan agar keempat suku tersebut harus duduk bersama dalam
mengatasi berbagai masalah di lingkungan mereka. Segala sesuatu yang
timbul di antara kelompok itu, harus diselesaikan secara musyawarah.
Menurut
Saman, Lampik Empat (empat suku turunan Atong Bungsu) dan Merdike Due
(dua suku yang sudah lebih dulu ada), merupakan potensi besar masyarakat
yang ada di tanah Pasemah. Mereka menyatu, membentuk suatu kelompok
masyarakat yang memang sudah sejak lama memiliki tatanan demokrasi
modern.
"Jauh
sebelum Indonesia merdeka, Pasemah sudah punya sebuah tata pemerintahan
yang amat demokratis. Pada saat itu yang dikedepankan adalah, kekuatan
rakyat dengan dasar-dasar musyawarah dan mufakat. Lampik Empat, Merdike
Due adalah, suatu tatanan demokrasi murni yang betul-betul sangat
menjunjung tinggi pendapat dan aspirasi orang banyak. Itu artinya, jauh
sebelum kalangan anggota parlemen dan para pemikir di Indonesia sekarang
berbicara soal demokrasi, ternyata di tanah Pasemah sudah diterapkan
hal itu lengkap dengan etika-etika berdemokrasi layaknya pemerintahan
modern sekarang," tegas Saman penuh bangga.
Hanya
saja, pengingkaran terhadap tatanan demokrasi ternyata dari dulu sudah
terbukti akan berdampak buruk. Tidak saja sekarang, sejak dari dulu pun
pengingkaran demokrasi ini membawa implikasi yang tidak sehat di tengah
masyarakat. Bahkan, bisa menjurus perpecahan dengan beragam persoalan
serius. Buktinya, bisa dilihat dalam perjalanan panjang sejarah Pasemah
menghadapi Belanda antara tahun 1821 sampai 1866.
Dalam bukunya Pasemah Sindang Merdika,
Kamil Mahruf dan kawan-kawan secara gamblang menggambarkan betapa
kejayaan Pasemah bertahun-tahun, bisa hancur hanya gara-gara
pengingkaran terhadap nilai-nilai yang ada pada Lampik Empat, Merdike
Due tadi. Bahkan, sekitar tahun 1866 ketika Pasemah Sindang Merdike
(julukan membanggakan bagi orang-orang Pasemah sebagai penjaga
perbatasan) berakhir, disebut-sebut dipicu oleh ketidaksenangan sebagian
kepala dan orang-orang berpengaruh di wilayah Lampik Empat bersama-sama
orang Semidang untuk membatalkan perjanjian "Sindang Merdike" dengan
Belanda.
Berbagai
ambisi dan kedengkian itu pula akhirnya yang menyebabkan runtuhnya
kejayaan Lampik Empat, terhitung sejak 22 Juli 1867. Sudah bisa ditebak,
begitu Lampik Empat "terkubur", lenyap sudah sebuah hakikat demokrasi
dalam sekejap. Artinya, kebijakan tanpa didasarkan pada musyawarah dan
mufakat ternyata telah meruntuhkan sebuah pilar demokratis yang dibangun
di tanah Pasemah.
MAKIN
tenggelamkah "Sindang Merdike" saat ini? Menurut budayawan Pasemah,
Mohammad Saman, begitu kekuatan Belanda merambah ke sini, mulailah
terjadi pergeseran nilai-nilai adat, budaya, dan sistem pemerintahan di
tanah Pasemah. Dampak berikut juga menyentuh berbagai peran dan fungsi
lembaga-lembaga lama yang ada di masyarakat ke lembaga baru yang sesuai
dengan keinginan penguasa.
Lembaga-lembaga
lama misalnya hukum adat dan tradisi lain, semakin tidak berfungsi.
Bahkan, puncaknya memasuki abad XIX, berbagai lembaga tradisional di
tanah Pasemah terasa mulai keropos dan pada akhirnya hilang digerogoti
kolonial. Barangkali ini terkait pula dengan strategi perang yang tujuan
akhirnya adalah agar kekuasaan mereka bisa langgeng.
Era
sekitar tahun 1940-an, bisa disebut sebagai titik awal pudarnya
kejayaan Pasemah. Sebab, pada saat itu sistem pemerintahan marga sebagai
sebuah sistem pemerintahan tradisional yang mapan di tanah Pasemah,
ternyata dihapus oleh kolonial. Jabatan strategis seperti, Kepala
Sumbai, Pesirah, dan lain-lain lantas dilikuidasi.
Dilukiskan,
cobaan bagi tanah Pasemah tidak semata lahir pada zaman kolonial.
Setelah merdeka, bahkan di era orde baru pun tanah Pasemah juga menjadi
korban. Sistem pemerintahan marga, misalnya lembaga Sumbai yang mulai
bertunas kembali saat itu, sengaja dienyahkan.
"Dengan
diterapkannya Undang-Undang Pemerintahan Desa yang seragam dari Aceh
sampai Irian sekitar tahun 1979, membuat pemerintahan marga di tanah
Pasemah kembali terkubur. Padahal, saat itu reinkarnasi sistem
pemerintahan marga sudah mulai muncul kembali. Ini jelas petaka kedua
yang melanda Pasemah," tutur Saman.
Imbalan
dari pemerintah Orde Baru, untuk menghargai rasa keterpaksaan
masyarakat Pasemah dalam menghapus marga dan diganti desa kala itu,
hanya berupa sebuah stasiun relay televisi, satu masjid, dan
memberi status kota administratif bagi Pagar Alam. Imbal beli yang
teramat murah ini memang ironis. Akan tetapi, para tetua Pasemah tidak
berdaya karena jika mereka menentang, jargon yang paling pas adalah akan
dicap sebagai antipembangunan.
"Ketika
itu pilihan kami memang serba sulit. Daripada timbul konflik dan
dianggap macam-macam, dengan rasa berat hati kami akhirnya menerima
tawaran itu. Kita betul-betul sedih, karena sudah diramalkan bahwa
Pasemah akan dikubur tanpa bisa bangkit kembali," ia menambahkan.
Tentang
keinginan menghidupkan kembali pemerintahan marga, diakui Saman, bukan
dimaksudkan untuk sekadar menghibur diri. Karena dengan sistem
pemerintahan marga, diyakini semua institusi akan memiliki basis sampai
ke tingkat yang paling dasar. Ini memberi banyak keuntungan, salah
satunya adalah gampang menarik masyarakat untuk berpartisipasi dalam
menggerakkan roda pembangunan. Sudah dari dulu diketahui bahwa Kepala
Sumbai atau Pesirah memiliki ikatan moral dan berpengaruh luas ke bawah.
"Terus
terang, kami iri dengan Sumatera Barat (Sumbar) yang saat ini sudah
kembali ke pemerintahan Nagari. Jika di Sumbar sistem pemerintahan
tradisional bisa dihidupkan kembali, kenapa di tanah Pasemah ini tidak
dilakukan. Jadi, inilah yang perlu digugah untuk membangkitkan kembali
kejayaan Pasemah dalam konteks pemerintahan modern di era otonomi
daerah," ujarnya.
Akankah
"Sindang Merdike" itu akan terkubur sepanjang masa ? Jawabannya, tentu
tergantung dari keinginan bersama masyarakat di tanah Pasemah itu
sendiri.
Sebab,
sebagai kelompok masyarakat yang mendapat gelar kehormatan "Penjaga
Perbatasan", idealnya memang harus mampu bangkit karena mereka memiliki
rasa patriotisme tinggi. Sikap mental seperti itu memang sudah terbukti
dan teruji dari dulu. Hanya saja, tenggelam dengan nostalgia masa lalu,
jelas bukan sebuah jawaban yang tepat.
1.2. Gambaran Umum Kedurang
Kedurang
adalah sebuah kecamatan di Bengkulu Selatan. Kecamatan kedurang terdiri
dari 26 desa. Kondisi alamnya bertebing-tebing yang di aliri sungai
berair jernih dan berbatu. Jika dilihat dari atas awan, Kedurang di
tampak hijau dengan bukit barisan di tepinya. Karena dekat dengan
pegunungan, tanah di daerah ini berbatu. Dalam hal pertanian tidak asing
jika di sawah-sawah penduduk banyak terdapat batu.
Masyarakat
Kedurang tergolong suku pasemah. Kebanyakan suku di daerah Bengkulu
Selatan adalah suku serawai, namun Kedurang dan Padang Guci yang
termasuk ke suku pasemah. Pasemah sendiri sebenarnya adalah sebuah
tempat di daerah Sumatera selatan, namun jaraknya dengan Kedurang hanya
dibatasi oleh Bukit Barisan.
Berikut adalah Data mengenai desa di kecamatan Kedurang
Jumlah Keluarga
Tahun 2003
|
Prop.
|
:
|
BENGKULU
|
Kab.
|
:
|
BENGKULU SELATAN
|
Kec.
|
:
|
KEDURANG
|
Desa
|
Keluarga
|
LUBUK LADUNG
|
209
|
AIR SULAU
|
500
|
SUKA RAJA
|
48
|
LIMUS
|
110
|
PENINDAIAN
|
84
|
PADANG BINDU
|
80
|
NANJUNGAN
|
77
|
PAGAR BANYU
|
75
|
SUKARAMI
|
114
|
BETUNGAN
|
124
|
KARANG CAYA
|
68
|
LAWANG AGUNG
|
286
|
DURIAN SEBATANG
|
400
|
PAJAR BULAN
|
275
|
TANJUNG BESAR
|
71
|
MUARA TIGA
|
200
|
SUKANANTI
|
140
|
TANJUNG NEGARA
|
100
|
TANJUNG ALAM
|
192
|
KEBAN AGUNG III
|
92
|
KEBAN AGUNG II
|
140
|
KEBAN AGUNG I
|
138
|
PALAK SIRING
|
486
|
BUMI AGUNG
|
173
|
RANTAU SIALANG
|
292
|
BATU AMPAR
|
538
|
Jumlah
|
5,012
|
Sumber : BPS, Podes 2003
0 komentar:
Posting Komentar